Asumsi Dalam Ekonomi Islam
Sekalipun jarang diungkapkan atau bahkan sengaja disembunyikan oleh buku-buku teks ekonomi konvensional, pada hakekatnya asumsi-asumsi tertentu telah berfungsi sebagai landasan bagi teori-teori mereka. Ketidakterusterangan dalam persoalan ini bisa saja dipicu oleh kepercayaan Barat bahwa apa yang menjadi nilai bagi mereka sebenarnya berlaku juga bagi masyarakat lain. Tokoh ekonom Barat yang paling egaliter semacam Gunnar Myrdal sekalipun masih menyimpan sikap etnosentris yang menganggap bahwa nilai-nilai yang menjadi pondasi kemajuan ekonomi Barat sebenarnya sangat asing bagi masyarakat Asia. Karena itulah perlu kiranya kita menjelaskan di sini bebarapa asumsi yang memiliki implikasi dalam aspek penawaran.
Pertama, homo economicus. Dalam ekonomi konvensional, para pelaku dan pemain ekonomi (economic agent) dipandang sebagai suatu makhluk ekonomi yang berusaha untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun. Nafsu ingin memenuhi segala keinginannya dan cara yang dipakai untuk memenuhinya seringkali atau pada umumnya tidak dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan norma moral, baik yang diambil dari ajaran agama maupun dari filsafat (etiket). Hal ini menimbulkan dorongan tanpa batas untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber-sumber daya yang tersedia di alam bagi pemenuhi keinginan manusia. Selama usaha manusia dipertaruhkan untuk memenuhi keinginannya, mengejar keuntungan dalam teori penawaran, selama itu pula ia dianggap sebagau sebuah usaha yang baik. Hal ini menimbulkan pengurasan sumber daya alam yang tersedia sehingga berakibat pada terancamnya keseimbangan ekologi terutama bagi generasi mendatang.
Semua kreasi dan inovasi dipacu dan terus digenjot atas nama ekonomi. Padahal tidak semua barang atau jasa yang diproduksi tersebut penting untuk diciptakan bagi kepentingan manusia. Sebagian dari barang yang diproduksi itu pada hakekatnya suatu bentuk kemubaziran karena sebenarnya tidak perlu diproduksi atau sebenarnya ada barang lain yang menempati ranking lebih penting harus terlebih dahulu diproduksi. Hal ini mengakibatkan sistem perekonomian menjadi tidak dapat dikendalikan (unmanageable).
Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga cara untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral Islam yang sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua barang dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan riil dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah). Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan produksi barang yang tidak berguna secara syar’i.
Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic man yang selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun, maka asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga dan pikirannya untuk memenuhi keinginannya dengan cara apapun, ia adalah makhluk rasional. Ketika produsen berusaha memaksimalkan keuntungan an sich, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah makhluk rasional dan tidak perlu dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin memaksimalkan nilai guna (utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada jalur rasionalitas dan hal itu secara ekonomi adalah baik.
Dalam perspektif ekonomi Islam, asumsi ini tetap menjadi acuan tetapi dengan beberapa catatan dan tambahan. Adanya injeksi norma moral Islam akan menjadi pelita bagi tiap-tiap agen ekonomi untuk bertindak rasional tetapi dalam kerangka nilai-nilai Islam. Gaya hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam memproduksi dan mengkonsumsi serta selalu memperhatikan batas halal dan haram merupakan rambu-rambu yang akan memberikan teguran kepada Islamic man.
Ketiga, netral terhadap nilai (value neutral). Asumsi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari disiplin ilmu ekonomi konvensional yang dipandang sebagai disiplin positif. Tugas dari suatu disiplin yang positif adalah menggambarkan realitas atau suatu fenomena secara objektif tanpa ada unsur campur tangan dari pengamat. Di awal-awal perkembangan ilmu ekonomi menjadi suatu disiplin ilmiah, banyak pakarnya yang cenderung menjadikannya sebagai suatu ilmu positif dan eksak layaknya fisika atau kimia.
Sekalipun hingga sekarang terbukti bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak selalu positif, tetapi buku-buku teks masih selalu alergi jika dikaitkan dengan moral terutama yang berasal dari nilai-nilai keagamaan. Gejala ini disebabkan karena sekulerisme dalam ilmu pengetahun telah mencapai akar-akarnya sehingga buah yang muncul dari ilmu pengetahun itu sudah terkena racun sekulerisme. Namun perlu dicatat bahwa asumsi netral terhadap nilai ini tidak selalu dapat dipertahankan. Umumnya dalam bidang ilmu mikro ekonomi akar netralitas ini begitu kuat dan menghujam, tetapi dalam makro ekonomi tidak demikian. Malahan kita dapat melihat bahwa semua tujuan-tujuan pokok dalam bidang makroekonomi pada hakekatnya adalah bermuatan nilai (value laden) misalnya tentang kesempatan kerja penuh (full employment), stabilitas nilai tukar dan harga dan lain-lain. Bahkan kebijakan pemerintah di hampir semua bidang tidak pernah terlepas dari nilai-nilai.
Adanya keterikatan kepada nilai dalam penawaran tidak menjadikan kinerja produksi dan penawaran dalam perspektif Islam kekurangan insentif. Dengan injeksi moral Islam justru membuka dan mempeluas horizon dan berfungsi mendorong agen ekonomi untuk berusaha dengan lebih baik dan efisien. Bagi mereka yang memahami Islam secara parsial dan tidak komprehensif merasa bahwa semua nilai-nilai ini hanya berfungsi sebagai hambatan dalam ekonomi dan pembangunan. Kesimpulan ini amat naif dan terkesan tergesa-gesa serta dilatarbelakangi oleh kebodohan..